Jumat, 04 November 2016

Tata Pemerintahan Jepang di Indonesia



Tata Pemerintahan Jepang di Indonesia
A.      Latar belakang Pemerintahan Jepang
Jika kita membicarakan tentang latar belakang sejarah pemerintahan Jepang, hal itu tidak lepas dari kedatangan tentara Jepang yang awalnya disambut gembira oleh masyarakat Indonesia yang dikira akan membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda dengan membentuk Gerakan Jepang di Indonesia dikenal dengan sebutan 3A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia). Gerakan Jepang ini dapat menarik simpati bangsa Indonesia untuk mengusir bangsa Belanda yang berkuasa di Indonesia, Kemudian Jepang pun mendarat di Teluk Banten, Eretan wetan, dan Kragan untuk merebut Batavia dari Bandung.
Pada perkembanganya setelah kemenangan, Jepang membagi wilayah Administratif Indonesia menjadi 3 daerah yang masing-masingnya dipegang oleh angkatan darat (Rikugun) dan angkatan laut (Kaigun). 3 daerah itu adalah Wilayah bekas Hindia Belanda kemudian dibagi dalam tiga daerah pemerintahan, yaitu pemerintah militer angkatan darat berkedudukan di Jakarta untuk Jawa-Madura, pemerintah militer angkatan darat berkedudukan di Bukit Tinggi untuk Sumatra, dan akhirnya pemerintah militer angkatan laut berkedudukan di Makasar untuk daerah yang meliputi Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat.
Ketiga wilayah militer Jepang dibawah komando Panglima Besar Tentara Jepang untuk wilayah Asia Tenggara yang berkedudukan di Saigon, Vietnam.
Keterangan-keterangan tentang sistem pemerintahan yang di pakai oleh balatentara Jepang, hanya didapatkan di Jawa. Hal ini tidak mengherankan, karena pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Jawalah yang mempunyai organisasi departemental, sedang di Bukittinggi atau diujungpandang hanya didapatkan suatu organisasi gewestejlijk saja.
Untuk mencegah timbulnya suatu vacum pemerintahan, maka dalam pasal 3 Osamu Seirei 1942 No. 1 ditentukan, bahwa semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaanya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dahulu ( pemerintah Hindia Belanda) tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer.
1)      Latar Belakang Politis
Sesuai dengan politik pemerintahan pendudukan Bala Tentara Jepang, Indonesia dibagi menjadi tiga daerah yaitu :
1.       Daerah yang meliputin pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Angkatan darat, yang berkedudukan di Jakarta.
2.       Daerah yang meliputi pulau Sumatra berada di bawah kekuasaan angkatan Darat, yang berkedudukan di Bukittinggi.
3.       Daerah-daerah selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut, yang berkedudukan di Makassar.
Sejak tanggal 8 Agustus 1942 seluruh Jawa dan Madura, kecuali Kooti (Vorstenlanden) surakarta dan yogyakarta, secara administratif dibagi dalam :
a)      Syuu (yang dapat dinamakan Gewest dahulu); Syuu dibagi dalam Ken dan Si
b)      Ken dan Si (yang masing-masing dapat disamakan dengan Regentschap atau Kabupaten dan Stadsgemeente dahulu); Ken dibagi dalam Gun.
c)       Gun (yang dapat disamakan dengan District atau Kawedanan dahulu); Gun dibagi dalam Son.
d)       Son (yang dapat disamakan dengan Onderdistricht atau Kecamatan dahulu);
e)      Ku (yang dapat disamakan dengan Indonesische Gemeente atau Desa dahulu.
Dari pembagian diatas, tampaklah bahwa Provincie sebagai daerah otonoom tidak dilangsungkan. Hal ini terbukti dengan dibubarkanya dewan-dewan pada daerah-daerah otonom. Namun demikian Kabupaten dan Kotapraja berjalan terus tanpa adanya dewan, semuanya dijalankan oleh (Kenco) dan Walikota (Sico). Dengan demikian, maka :
a)      Wali Kota (Sico) selain mengurus urusan rumah tangga serta tantra Si, ia mengurus pula urusan Pamong Praja di dalam Si tersebut (dualistis).
b)      Secara administrasi, Si tidak lagi merupakan wilayah jabatan Ken-co sebagai organ pemerintah Pusat dari Ken yang melingkupi wilayah si itu, akan tetapi menjadi wilayah-jabatan Sico itu sendiri dalam kedudukanya sebagai organ Pemerintah Pusat.
c)       Urusan Pemerintahan yang dahulu diurus oleh regent, districts hoofd, onderdistrichtshoofd, lurah atau kepala kampung (wijkmeester), masing-masing dalam daerah Si masuk kekuasaan sico.
Jepang juga mengangkat tokoh-tokoh politik Indonesia seperti Husein Djajadiningrat, Sutardjo Kartohadikersoemo,R.M.Soerjo, dan Prof.Soepomo. Hal ini dilakukan untu menarik simpati masyarakat Indonesia demi memnuhi kebutuhan Jepang akan pegawai. Selain itu, dibentuk juga organisasi paramiliter seperti keibodan (Barisan Pembantu Polisi), seinendan (Barisan Pemuda), Bui Giyugun (Tentara Sukarela Pembela Negara atau PETA) pembentuan ini bertujuan untuk mempertahankan wilayah yang telah berhasil dikuasai oleh Jepang. Ada juga sistem baru yang disebut torigumi (rukun tetangga), berapa torigami ini digabungkan dalam ku (desa atau bagian kota) dengan tujuan untuk membangun pertahanan masyarakat secara gotong royong.
2)      Latar Belakang Yuridis
Sebagaimana kita ketahui diumumkanya  Osamu seirei atau undang-undang No. 1 tahun 1942 tentang menjalankan pemerintahan Balatentara Jepang sebagaimana pasal (6-7). Dalam UU ini ditentukan bahwa “balatentara Jepang untuk sementara melangsungkan pemerintah militer di daerah-daerah yang telah didukinya. Selanjutnya ditentukan bahwa semua badan-badan pemerintahan dengan kekuasaanya, hukum dan undang-undang dari Pemerintah Hindia Belanda untuk semetara waktu tetap diakui sah asalkan tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer Jepang”.
B.       Sistem Pemerintahan Militer Jepang
·         Gunshireikan        : Panglima tentara- Panglima tertinggi-Saiko Shikikan-Pitoshi Immamura
·         Gunbaikan            : Kepala Pemerintahan Militer- Kepala staf Tentara-Mayjen Seizaburo Okasaki
·         Gunseikanbu         : Staf pemerintahan militer pusat terdiri dari
1.      Somubu (Departemen urusan umum).
2.      Zaimabu (Departemen keuangan).
3.      Sangyobu (Departemen perusahaaan, industri, kerajinan tangan dan ekonomi).
4.      Kotsubu (Departemen lalu lintas)
5.      Shihobu (Departemen kehakiman)
·           Gunseibu             : (Koordinator pemerintahan militer stempat-Gubernur terdiri: Jabar berkedudukan di Bandung, Jateng berkedudukan di Semarang, dan Jatim berkedudukan di Surabaya.
              Berdasarkan apa yang dijelaskan diatas dapat dijabarkan bahwa Pemerintahan Militer itu terdiri atas Gunseireikan (Panglima Besar Balatentara Jepang, kemudian disebut Saiko sikikan) sebagai pucuk pimpinanya, dibawah pejabat ini terdapat Gunseikan (Pembesar pemerintah Balatentara Jepang) dan Kepala-kepala berbagai Departemen misalnya Somubu (Departemen urusan umum), Zaimabu (Departemen keuangan), Sangyobu (Departemen perusahaaan, industri, kerajinan tangan dan ekonomi), Kotsubu (Departemen lalu lintas), hihobu (Departemen kehakiman).
 Hubungan Antar Lembaga Negara pada masa Pemerintahan Jepang
1.         Syuu dan Tokubetsu Si
Syu dan Tokubetsu Si kemudian ditetapkan Undang-undang 1942/28 tentang aturan pemerintahan Syuu dan aturan pemerintahan Tokubetsu Si (KP 1,p.8-10). Sedang Ken dan Si ditetapkan Osamu Seirei 1943/12 tentang Ken dan Si (KP 18,p.4) dan Osamu Seirei 1943/13 tentang peraturan daerah Ken dan Si (KP 18,p.5-6) serta peraturan Zi-Sei-Hi-No. 1616 (Peraturan Keuangan Ken dan Si) (KP 16, p. 10).
Dalam garis besarnya peraturan-peraturan diatas memuat ketentuan-ketentuan pokok yang berikut :
a.       Syuu merupakan daerah tingkat teratas yang mempunyai pemeritahan sendiri sebagai suatu kesatuan dalam masa pemerintahan militer Jepang. Syuu membawahkan ken dan Si dalam lingkungan wilayahnya. Tokubetsu Si mempunyai kedudukan yang lebih-kurang sama seperti Syuu, karena itu tidak berada dibawah sesuatu Syuu, melainkan langsung dibawah Gunseikan.
b.      Untuk masing-masing daerah itu diangkat seorang kepala daerah (Syuutyookan, Tokubetsu Sityoo, Kentyoo, dan Sityoo).
c.       Sepanjang tidak diubah oleh Pemerintahan Balatentetara Jepang, ketentuann-ketentuan dalam Regentschapsordonnantie dan Stadsgemeente-ordonantie dulu tetap berlaku bagi Ken dan Si (termasuk Tokubetsu Si).
d.      Wewenang-wewenang yang dulu dijalankan oleh raad dan college pemerintah harian dan stadsgemente kini ssemuanya dijalankan oleh Kentyoo dan Sityoo, jadi yang dianut adalah Sistem pemerintahan tunggal oleh satu orang.
e.    Sistem pemerintahan tunggal tanpa dewan-dewan perwakilan rakyat dilaksanakan secara konsekuen sampai September 1943.Dalam bulan tersebut ditetapkan peraturan yang mengatur pembentukan dewan-dewan baik di pusat maupun didaerah yang berfungsi sebagai badan penasihat bagi pejabat tunggal itu. Tapi dalam lingkungan pemerintahan daerah dewan ini hanya diadakan Syuu dan Tokubetsu Si (Osamu Seirei 1943/37 tentang Syuu dan Tokubetsu Si Sangikai, KP 26,p.9-10).
f.     Si menyelanggarakan segala urusanpemerintahan dalam lingkungan wilayahnya. Urusan pemerintahan umum (pangreh praja) yang dalam stadsgemente dulu diurus oleh regent dan pejabat-pejabat bawahanya kini dipegang oleh Sityoo.
g.    Pengawasan terhadap daerah-daerah otonom yang dulu dipegang oleh Gouverneur-General dan aparatur peemerintahan provincie kini semuanya dilakukan oleh Gunseikan.
       Demikianlah hubungan tata pemerintahan pada zaman pendudukan Jepang sejak tahun 1942 sampai Agustus 1945.

C.      Efektifitas Pelaksanaan Pemerintahan Pendudukan Jepang
Mengenai pembahasan tentang efektifitas dalam pelaksanaan pe-merintahan pada masa pendudukan Balatentara Jepang yang berkuasa di Indonesia dari 1942 sampai 1945 dinilai banyak yang tidak berhasil ini dilihat dari gerakan 3 A yang tidak berhasil mencapai tujuan-tujuanya. Dan Propaganda nya ditangani secara keras sehingga pada masa awal  pendudukanya pun hanya sedikit orang Indonesia yang menanggapinya secara serius. Jepang yang menggantikan penjajahan di bumi Indonesia dari Belanda, di bidang pemerintahan pada prisipnya masih meneruskan dilaksanankanya asas dekonsentrasi sebaagaimana dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan hanya menggunakan perobahan-perobahan antara lain : nama-nama daerah beserta pejabatnya diganti dengan bahasa Jepang; jabatan-jabatan yang semula diduki oleh orang-orang Belanda digantikan oleh pembesar –pembesar Jepang, sedangkan bangsa Indonesia hanya diberi kesempatan sedikit mungkin; wilayah Provinsi beserta Gubernur nya baik di Jawa maupun di luar  Jawa dihapus; Afdeling beserta Asisten residenya di Jawa dihapus.
Jika melihat dari sistem pemerintahan pada masa pendudukan Jepang, kita dapat melihat bahwa pada masa pemerintahan pendudukan Jepang tidak efektif ini bisa kita lihat sebab tidak banyak nya yang berubah dari sistem pemerintahan Belanda pada masa menjajah Indonesia dan sama-sama hanya ingin menyengsarakan rakyat Indonesia.

Kesimpulan
Sistem Pemerintahan Pendudukan Jepang yang mulai efektif sejak tanggal 9 Maret 1942 sampai tahun 1945 pada umumnya tetap meneruskan sistem pemerintahan Hindia Belanda. Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kebijakan Politik Jepang tidak efektif karena  pada dasarnya mmpunyai dua prioritas yakni : a) menghapus pengaruh barat dikalangan rayat, dan b) memobilisasi mereka demi kemenangan tentara Jepang tidak berbeda jauh dengan tujuan Belanda untuk menguasai bumi Indonesia yang banyak menyengsarakan rakyat Indonesia dengan sistem-sistem pemerintahan yang diterapkanya, Walaupun selama pemerintahan militer Jepang berkuasa di Indonesia, banyaklah dikeluarkan peraturan-peraturan baru dan tambahan peraturan-peraturan lainya, akan tetapi peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah militer Jepang pada hakekatnya sekarang tidak berlaku lagi















Anyer - Pembangunan jalan Daendels dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sejauh 1000 km pada tahun 1809 – 1810 yang bertujuan untuk mempercepat tibanya surat-surat yang dikirim antar Anyer hingga Panarukan atau sebagai jalan pos, namun jalan-jalan itu dalam perkembangan selanjutnya banyak dipengaruhi kehidupan masyarakat disekitarnya dan telah berubah fungsinya antara lain mejadi jalan ekonomi atau jalan umum dan kini sudah banyak bangunan disekitarnya.







Rute jalan Daendels di Kabupaten Serang sampai saat ini sebetulnya masih dihantui oleh kesimpangsiuran informasi. Karena yang beredar di masyarakat ada dua pendapat ada yang berpendapat bahwa jalan Daendels melewati Kabupaten Lebak, namun ada juga yang menyatakan hanya melewati Kabupaten Serang saja. Memang, menelusuri jalan Daedels dari titik km nol di Anyer hingga 1000 km di Panarukan, orang sering bingung untuk menentukan rute yang benar apakah melalui Serang ataukah melalui Lebak, beberapa masyarakat yang dihubungi, hanya mengenal jalan Daendels dari Anyer sampai Serang. Tidak itu saja di Banten juga banyak jalan-jalan yang bercabang dan masyarakat setempat menamakannya jalan Daendels.

Kesimpangsiuran informasi itu menurut Halwany Michrob, wajar-wajar saja sebab pembuatan jalan Deandels saat itu melakukannya dalam dua tahapan, tahap pertama merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia – Banten pada tahun 1808, pada masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya pada pembangunan dua pelabuhan di utara (Merak) dan di selatan (Ujung Kulon). Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Pulosari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga Jasinga (Bogor). Tahap kedua dimulai tahun 1809, Dari Anyer melalui Pandeglang jalan bercabang dua menuju Serang (utara) dan Lebak (selatan). Dari Serang, rute selanjutnya Ke Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur, Bandung, Sumedang, Cirebon hingga Panarukan, sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Jalan inilah jalan yang di sebut jalan utama atau jalan protokol, tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada cabang-cabang jalan lainnya yang dilewati oleh Daendels.

Peta Jalur Anyer-Panarukan


 Di daerah tertentu, banyak rute khusus yang sengaja di bangun oleh Daendels pada masa itu terutama daerah pusat Kabupaten karena untuk mempermudah transportasi pengangkutan rempah-rempah keluar daerah tersebut. Banten merupakan tempat yang paling banyak memiliki cabang-cabang Jalan Deandels sebab Banten cukup banyak menghasilkan rempah-rempah. Anyer dijadikan titik km nol karena kota ini sudah di pola Daendels untuk mempermudahkan pengangkutan hasil bumi dari Banten menuju dua pelabuhan yaitu pelabuhan Merak dan Pelabuhan Ujung Kulon. Banten sendiri sudah dilokalisasi dalam segi hasil bumi oleh Daendels karena Banten Subur dan Kaya akan hasil buminya terutama rempah-rempah.



Hingga saat ini, sebagian besar jalan Daendels masih terpakai bahkan yang lama sengaja diperbaharui supaya dapat digunakan. Jalan Daendels yang tidak dapat digunakan lagi adalah daerah Pontang dan Bayah, karena hancur dan tidak diperbaiki kembali. Sementara itu Daendels sempat memerintahkan pembuatan jalan di selatan Pulau Jawa, rutenya di mulai dari sebelah barat Jawa yakni; Bayah menuju Pelabuhan Ratu, terus ke selatan ke daerah Sukabumi, Cimanuk dan seterusnya hingga ke Pangandaran, Purwokerto dan Yoyakarta. Jalan Daendels yang lebih di kenal oleh masyarkat adalah jalan bagian utara Jawa, ini disebabkan karena jalan di utara melalui rute yang berhadapan langsung dengan rute Batavia, sedangkan jalan bagian selatan Jawa selain kondisi jalannya rusak banyak juga yang terputus seperti jalan Bayah sampai Citorek.

Ada beberapa versi mengenai sejarah pembuatan jalan ini, ada yang mengatakan bahwa Daendels membuat jalan Anyer – Panarukan ini karena ingin mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris, sehingga Pulau Jawa perlu dibangun jalan guna menghubungkan suatu daerah ke daerah lain agar dapat mempercepat kabar berita dan alur transportasi. Secara kronologis, pada tahun 1808 datanglah Herman Willem Daendelsdari Belanda ke Banten, waktu ia datang ke Indonesia negaranya tengah di jajah oleh Perancis. Sebagai murid yang disayangi Napoleon, akhirnya Daendels dikirim ke Indonesia untuk menggantikan Gubernur Jendral dari Belanda yang ada di Indonesia oleh Napoleon Bonaparte (Dr. H.J. de Graaf; 363-370, 1949). Dengan segala upaya akhirnya Daendels mendapatkan bantuan dari rakyat Banten berupa rempah-rempah untuk dikirim ke Perancis dan Belanda sebagai upeti, jadi tidak mengherankan jika ia membuat kerja rodi dan tanam paksa (verplichte diensten) karena jika tidak, ia tidak bisa memberikan upeti pada kedua negara itu.

Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten tahap pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat menghentikan bantuannya. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meningal tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels semakin keras menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun alasannya.

Sementara itu ada yang beranggapan jalan Daendels dibuat untuk jalur pos atau Jalan Pos Raya (Grote Postweq), namun Halwany beranggapan bahwa jalan Daendels sebagai siasat untuk memperlancar jalur ekonomi, politik dan pemerintahan. Jadi yang dikatakan jalan pos disini maksudnya adalah sebagai sentral untuk pemerintahan agar sistim birokrasi pola pikirnya sampai kebawah.
Keadaan jalan Daendels saat ini dari titik nol km yang bertempat di Anyer Kidul, Desa Cikoneng menuju Serang maupun Pandeglang dibandingkan dengan situasi dan kondisi 180 tahun yang lalu, memang jauh berbeda baik cara hidup masyarakat setempat ataupun alam sekitarnya. Pada saat tanam paksa pembuatan jalan hanya hutan belantara dengan kehidupan binatang yang ada dan di dukung oleh keadaan pantai yang indah menawan belum terjamah manusia. Puluhan orang pribumi atas perintah paksa menerobos hutan dan jadilah jalan tembus untuk mempernudah arus angutan hasil-hasil bumi. Menurut ceritera penduduk setempat, pada pembuatan jalan Daendles (kerja rodi) ini setiap jarak 25 meter di tanami pohon asem di pinggir badan jalan, itu dilakukan agar badan jalan yang telah di buat tetap terpelihara adan terjaga.

Menginjak tahun 1950-an, sepanjang jalan pantai Selat Sunda ini masih sunyi, karena tidak seminggu sekali pun kendaraan roda empat melintas ke tempat ini kecuali kereta api yang melintas jurusan Rangkasbitung – Anyer itupun sehari sekali pulang-pergi mengangkut para penumpang, tapi sejak tahun 1970 di Anyer tak ada lagi ada kereta api yang melintas dan yang ada tinggal sebuah stasiun tua yang sunyi dan sepi. Beberapa masyarakat berpendapat waktu tahun 1972, jangankan malam hari pada siang hari saja masih sering menemukan rombongan binatang seperti; monyet, kancil, manjangan, kelinci maupun sesekali terlihat macan. Sekarang jalan itu telah ramai di lalui kendaraan bermotor, tak kelihatan lagi gerobak yang biasa lewat mengangut singkong ataupun pisang malah yang banyak terlihat tembok-tembok bangunan milik penduduk berjejer bahkan vila dan hotel pun telah menutupi hampir semua kawasan pantai Selat Sunda itu. Tidak hanya itu saja pabrik-pabrik pun telah memadati kawasan ini termasuk tambak udang, sekarang tidak ada lagi kelihatatan binatang liar yang bebas bergelantungan di pohon-pohon maupun bergerombol di pinggiran jalan. Binatang ini telah pergi entah kemana.




Pembangunan Jalan
Jalan Raya Pos awalnya dibangun untuk pertahanan militer Belanda pada massa itu. Jalan Anyer-Panarukan ini juga digunakan Belanda untuk menunjang sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang saat itu sedang diterapkan kolonial Belanda dan juga untuk mengubungkan antar keresidenan dan kota-kota yang dianggap penting. Dengan adanya jalan ini hasil bumi dari Priangan lebih mudah dikirim ke pelabuhan di Cirebon untuk selanjutnya dibawa ke negeri kincir angin.

Jalan ini juga memperpendek waktu tempuh perjalanan darat dari Surabaya ke Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari bisa dipersingkat menjadi tujuh hari. Sungguh sebuah prestasi luar biasa saat itu. Jalan ini juga sangat bermanfaat bagi pengiriman surat oleh Daendels kepada seluruh keresidenan yang berada di pulau jawa.Gubernur Jenderal Daendels memang menakutkan, dia kejam, sadis dan tak kenal ampun. Menurut para sejarahwan, korban yang meninggal pada pembangunan ruas jalan Batavia - Banten sekitar 15.000 orang dan banyak yang meninggal tanpa dikuburkan secara layak. Banyaknya korban yang meninggal di tanah Banten ini dikarenakan para pribumi banyak yang menolak untuk bekerja, melakukan perlawanan, sakit dsb.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjV_v0DKZwgXFlEm6XFq4ffExFxMvVU1RKWG3m018P14Tl4HoQi3jMtUwOHycDx1p01MDm_20btIuVGiXF99wp1EYP-AVK-GRSPInQuMgnjLZ19PCdTtJxyhgMIqnyos-kC-uVjvfj6U7TD/s1600/2a632-titik-nol-anyer-panarukan.jpgPembantaian juga terjadi wilayah Priangan, tepatnya dikawasan antara Bandung - Sumedang. Lebih dari 5.000 orang meninggal karena perlakuan yang semena-mena dari penjajah. Mereka yang meninggal karena bekerja terlalu berat dan tidak diberi makan maupun istirahat. Wilayah tersebut merupakan hutan belantara dengan tebing-tebing yang curam. Mereka bekerja di medan yang sangat berat namun dengan alat yang seadanya. Para pribumi yang menentang melakukan perlawanan kepada penjajah, namun karena kekuatan yang tidak seimbang, akibatnya tidak sedikit pribumi yang meninggal akibat perlawanan tersebut. Jalan tersebut sekarang dikenal dengan nama Jalan Cadas Pangeran. Jalan ini menghubungkan Bandung dan Cirebon.

Saat pembangunan jalan raya pos akan memasuki Demak. para pakerja paksa harus bekerja dengan ekstra berat. karena wilayah tersebut merupakan daerah rawa-rawa, mau tidak mau harus dilakukan pengurugan. Tidak sedikit juga korban yang meninggal saat pengerjaan ruas penghubung Semarang-Demak ini sedikitnya menelan korban sebanyak 3000 jiwa. Penyebab meninggalnya para pekerja didaerah ini dikarenakan mereka bekerja terlalu berat tanpa asupan makanan yang mencukupi dan juga serangan penyakit seperti malaria.








Walaupun demikian Daendels semakin keras menghadapi rakyat, dia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun alasannya.

Dengan tangan besinya jalan itu, proyek diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1807-1808). Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini. Namun, semua itu harus dibayar dengan darah, air mata bahkan nyawa rakyat Indonesia. Sedikitnya ada 24.000 korban meninggal hingga pembangunan jalan selesai. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah korban yang tidak terdata.





                               








1 komentar: